Drs. Tubiyono, M.Si Official Website

Surabaya, 18/9/24 — Para pemikir dan pendiri bangsa Indonesia adalah dari kalangan pemuda-pemudi intelektual akademis yang memiliki visi ke depan jauh melampaui zamannya. Generasi awal abad XX melahirkan pemuda-pemudi nasionalis, revolusioner, dan bervisi pada nilai-nilai internasional. Nilai-nilai objektif universal dipadukan dengan etika dan intelektual dapat mengkonstruksi pandangan dunia “world view”/”weltanschauung”.
Pandangan dunia “world view”/”weltanschauung” para pendiri bangsa Indonesia terefleksi dalam ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ikrar tersebut meneguhkan bahwa para pemuda-pemudi Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, berbangsa satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Ikrar pemuda-pemudi yang ketiga, menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia merupakan lompatan historis bahasa lokal (Melayu) menjadi bahasa nasional Indonesia. Perubahan nilai sosial kultural tersebut memiliki fungsi sebagai keunikan/identitas, kebanggan, pemersatu, dan katalisator antarelemen dalam masyarakat dan budaya.
Pergeseran bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia tidak secara instans, tetapi melalui proses panjang.  Yang dimaksud proses panjang adalah bahwa bahasa Melayu (Riau) sudah menjadi bahasa perniagaan (bisnis) di berbagai pelabuhan dan sungai besar di Indonesia (Nusantara). Dampaknya adalah bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan sehari-hari dalam perdagangan “lingua franca”.
Singkat kata, ketika kongres pemuda dengan sepakat jika bahasa Melayu sebagai bahasa nasional karena telah dikenal secara luas di wikatah Nusantara. Selain itu, kaidah bahasanya mudah dipelajari, secara sosiokultural lebih egaliter, serta adanya kesadaran penutur bahasa daerah lain untuk menerima realitas kebahasaan yang dihadapinya. (Tubiyono)