Surabaya, 7/7/24 — Alinea ketiga pada Pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Yang perlu digarisbawahi adalah adanya kesadaran filosofis tingkat tinggi generasi 1945 atas nikmat yang diberikan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang religius, beriman, dan berketuhanan terefleksi dalam ungkapan verbal “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” merupakan manifestasi kekayaan mental intelektual para pemikirnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana proses sampai muncul ungkapan verbal “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Secara sosiolinguistik, diksi yang digunakan “berkat” dan “rahmat Allah” memberikan ayat atau tanda yang melampaui logika pada umumnya. Ungkapan yang tulus tersebut merupakan sebuah pengakuan bahwa manusia lemah atau dhoif, tanpa pertolongan dan izin-Nya tidak bisa mencapai apa yang diinginkan oleh egonya.
Kata “berkat” bermakana karunia yang diberikan Allah SWT yang menimbulkan kebaikan secara progresif tak terbatas. Kata “rahmat” berasal dari bahasa Arab bermakna ‘asih’, ‘pengasih’, salah satu sifat Tuhan ‘Maha Pengasih’. Kasih sayang Tuhan, Allah SWT, tak terbatas. Pengakuan kemahakuasaan Allah SWT merupakan penempatan nilai yang hakiki dalam hidup ini.
Setelah ungkapan verbal “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, baru diikuti ungkapan, “dan dengan didorongkan keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal ini menunjukkan bahwa secara logika dimulai dari konsep berupa cita-cita, keinginan, gagasan berkehidupan bersama yang bebas diperlukan adanya kemerdekaan.
Dapat disadari secara realistis, untuk mencapai kemerdekaan dari penguasaan pemerintah kolonial tidaklah mudah. Karena kekuatan militer, ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan sangat lemah. Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah (1) peran alim ulama dan (2) peran intelektual akademik. Keduanya, alim ulama dan para akademisi menyatu sebagai gerbong untuk mengantarkan ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya, yang perlu menjadi catatan penting adalah para pendiri bangsa (alim ulana) dan akademisi saat itu tidak gila kekuasaan politik dan tidak gila harta kekayaan ekonomi. Bagaimana generasi berikutnya sebagai pewaris dan pengisi kemerdekaan Indonesia? Silakan dianalisis berdasarkan kondisi dan fakta empirik yang dapat dipakai sebagai pijakan berpikir kritis. (Tubiyono, 7/8/24)