Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Bahasa Ibu ke-6 di Universitas Udayana, Bali, Indonesia, 22-23 Februari 2013
Abstrak
Perusahaan rokok HM Sampoerna yang memproduksi rokok sigaret kretek berlabel Djie Sam Soe didirikan oleh Liem Seng Tee. Dalam proses pendirian dan pengembangan usaha sebagai entrepreneur owner, Liem Seng Tee tetap berpijak pada pandangan yang multikultural. Pandangan ini termanifestasi dalam kemasan rokok sigaret kretek yang mengakomodasi tiga kultur dominan. Tiga kultur dominan itu adalah kultur Cina, Arab, dan Jawa tempat Liem Seng Tee beraktivitas. Kultur-kultur tersebut dijadikan dasar untuk pengembangan bisnisnya. Oleh karena itu, makalah singkat ini berupaya untuk mendesrkipsikan konsep pemikiran Liem Seng Tee sebagai pendiri dan pemilik perusahaan yang mampu mengakomodasi kultur lokal dan kultur global dalam satu produk. Diharapkan adanya deskripsi ini dapat dijadikan inspirasi para generasi muda yang berkeinginan untuk mengembangkan dan mengobarkan motivasi sebagai entrepreneur yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Kata kunci: legitimasi, entreprerneur, multikultural,
Pendahuluan
Tulisan ini terinspirasi ketika Pusat Pembinaan Karier dan Kewirausahaan Universitas Airlangga (PPKK-UA) diundang General Manager House of Sampoerna, Ina Silas, Rabu, 10 Oktober 2012 di Taman Sampoerna 6, Surabaya, Indonesia. Acara itu diadakan di taman (halaman) House of Sampoerna sehingga ramah tamah dan makan malam bersama dengan menu “Suroboyoan” serta menikmati musik dan tari sebagai penghangat suasana agar lebih terkesan. Kemasan acara secara informal diharapkan para tamu undangan lebih akrab dan santai. Acara ramah tamah dan makan malam tersebut diadakan dalam rangka memperingati hari jadi House of Sampoerna ke-9. Saya sebagai salah satu anggota tim PPKK-UA mewakili pertemuan tersebut. Di sela-sela acara ramah tamah, saya bersama perwakilan dari Universitas Surabaya (UBAYA) masuk ke Museum House of Sampoerna. Di dalam museum tersebut saya mengamati sebuah stoples yang terbuat dari kaca bening bertuliskan huruf Jawa, huruf Cina, dan huruf Arab. Fakta tersebut dapat dipahami sebagai upaya Liem Seng Tee merangkul unsur budaya lokal dan budaya asing yang termanifestasi dalam produksi rokok dengan menggunakan tiga jenis huruf yang berbeda.
Sejarah Singkat Kedatangan Orang Cina dan Orang Arab di Nusantara
Kedatangan etnik Cina pertama kali di Indonesia (Nusantara) dikatakan sebelum Masehi, tetapi informasi ini tidak jelas (Purcell dalam Marzali, 2011). Catatan berita Cina setelah Masehi yaitu adanya perjalanan tokoh agama Budha dari Cina ke India singgah di Nusantara dan meninggalkan jejak berupa tulisan yang menginformasikan daerah dan masyarakat yang disinggahi. Pendeta Fa Hsien singgah di daerah yang disebut “Jawa” pada tahun 413 M. Pendeta Hwi Ning singgah di daerah Holing (Jawa Utara) pada tahun 664 M , Pendeta I Tsing singgah di Sriwijaya pada tahun 671 M. Pada tahun 1200 M dalam kitab Chan Ju Kua memberitakan ada dua kerajaan besar dan kuat yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Kediri di Jawa. Menurut Suhandinata (2012) terjadinya migrasi Cina terjadi antara abad XII sampai abad XX. Ada beberapa alasan adanya migrasi ke tempat lain antara lain, orang Cina terkenal sebagai pelaut (maritim), berdagang barang komersial, pertumbuhan populasi penduduknya sehingga mereka cenderung untuk berusaha memperbaiki kualitas hidupnya dengan meninggalkan negaranya.
Tahun 1289, Kaisar Cina Khubilai Khan mengirim utusan ke Singosari Jawa Timur, untuk meminta agar Singosari mengakui kedaulatan Kerajaan Cina. Utusan Cina yang bernama Meng Ki dipermalukan oleh Raja Singosari. Karena dihina, pada tahun 1292, Khubilai Khan mengirim 10.000 tentara untuk menundukkan Singosari, Ekspedisi ini gagal karena diperdaya oleh Raden Wijaya menantu Raja singosari. Akhirnya, tentara Cina kocar- kacir sebagian tertinggal di Jawa dan menetap menjadi penduduk setempat.
Kedatangan Cina ke Nusantara untuk berdagang diprediksi pada abad XIV, pada zaman dinasti Ming yaitu di Palembang dan Temasik (Singapura) yang berlangsung antara 1400-1511 (Marzali, 2011). Penulis Cina, Ma Huan, yang ikut ekspedisi Laksamana Cheng Ho memberitakan adanya komunitas-komunitas pedagang Cina Jawa.
Sekitar abad XVI banyak migran dari Cina karena didorong adanya peperangan perebutan kekuasaan dari dinasti Ming ke dinasti Manchu dan pihak yang kalah dikejar-kejar dan akhirnya melarikan diri. Kejadian itu bersamaan dengan kedatang orang Eropa yang masuk ke Cina melalui Laut Selatan (Nan Yang). Migran dari Cina ke Nusantara saat itu dipandang rendah karena sengsara atau bandit. Pada akhir abad XIX terjadi lonjakan besar migran dari Cina ke Nusantara yang disebabkan oleh adanya perubahan pandangan migrasi yang tadinya dipandang rendah dan hina beralih ke pandangan bahwa migrasi adalah positif, maka larangan meninggalkan Cina dicabut. Migrasi Cina cukup besar juga dipicu banyaknya kerusuhan dan pemberotakan di Cina. Marzali (2011) mencatat ada tiga ciri kedatangan orang Cina pada zaman itu. Tiga ciri itu: (1) migran mengikutkan keluarga dan isteri agar tidak kawin dengan wanita setempat sehingga terdapat kelompok Cina Totok, (2) migran terdiri dari berbagai suku, dan (3) migran kali ini bersamaan dengan menguatnya rasa nasionalisme Cina yang kuat kepada tanah lelluhur, khususnya Cina Totok.
Menurut Saleh B (http//digilib.puri.go.id) kedatangan orang Cina sudah berabad-abad, maka tidak aneh kalau unsur budaya Cina banyak berpengaruh di Nusantara termasuk di Jawa. Pengaruh dalam bidang perdagangan, seni dan budaya, kuliner, dan sebagainya. Bahkan banyak naskah lama yang berisi cerita Cina yang ditulis oleh penulis atau pengarang Cina dalam aksara Jawa. Adapun yang dimaksud dengan karya sastra Cina Jawa adalah cerita roman Cina dan roman sejarah Cina yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dalam bentuk naskah yang beraksara Jawa. Naskah roman sejarah Cina yang pertama muncul di Jawa berasal dari tahun 1875. Kebanyakan dari naskah-naskah terjemahan roman sejarah Cina berkaitan dengan sejarah awal berdirinya dinasti Tang. Termasuk di dalamnya kisah tentang perjalanan kehidupan pendiri dinasti Tang, yaitu kaisar Li Shihmin (dalam terjemahan Jawa-nya menjadi Li Si Bin), mengenai kemasyhuran ratu Wu dan mengenai kisah panglima perang Sik Jin Kwi dan anak cucunya. Karya-karya tersebut diperkirakan merupakan karya orang-orang dari daerah Cina sebelah selatan yang menganggap diri mereka sebagai orang Tang. Sebagian besar karya-karya terjemahan roman sejarah Cina tersebut ditulis dalam bentuk tembang macapat dan disajikan dalam bentuk babad, sebagaimana halnya bentuk kemasan cerita sejarah Jawa pada lazimnya. Ada pula sejumlah naskah yang isinya juga berkaitan dengan siklus dinasti Tang yang disajikan dalam bentuk Pakem Pedhalangan. Di samping cerita roman sejarah, terdapat pula kisah roman yang sangat populer di kalangan orang Cina peranakan pada masa itu, yakni kisah sepasang kekasih berjudul Sam Pik dan Eng Tae (Butterfly Lovers). Naskah Sam Pik dan Eng Tae tersebut mula-mula ditulis pada tahun 1878.
Kedekatan Cina di Nusantara, termasuk Jawa, dikatakan oleh Sedyawati (2012) tidak hanya dimulai zaman sejarah, tetapi sudah dimulai sejak zaman prasejarah. Hal itu didukung fakta adanuya temuan mata uang Cina, alat timbangan, porselin, gerabah, dan manik-manik Cina. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa anatara Cina dan Nusantara sudah terjalin hubungan kultural sejak lama, maka tidak mengherankan jika banyak produk yang sangat banyak dipengaruhi oleh budaya Cina tersebut.
Dari pelacakan sejarah kedatangan Islam (Arab) pertama kali pada abad XI Masehi, yang dikuatkan adanya batu nisan wanita muslim di Pantai Utara Jawa (Pantura) (Sedyawati, 2012:119). Di Pantura Pulau Jawa banyak ditemukan situs-situs peninggalan para penyiar Islam antara lain: Gresik, Lamongan, Tuban, Kudus, Demak, Cirebon, dan Banten. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah berakulturasi sejak lama. Bahkan akulturasinya bukan hanya secara horisontal, melainkan juga secara verktikal.Secara horisontal Islam dipelajari oleh orang kebanyakan dan secara vertikal Islam diperkenalkan kepada raja atau penguasa setempat sehingga Islam dengan cepat diterima oleh penduduknya.
Pada abad XI sampai dengan akhir abad XV bermunculan pusat-pusat baru kepemimpinan Islam utamanya di pantai utara dari ujung barat sampai dengan ujung timur (Sdyawati, 2012). Pusat kekuasaan atau kepemimpinan Islam tidak hanya berpusat di Jawa, tetapi juga di tempat lain, luar Jawa seperti di Pulau Sumatra ada kerajaan Samodra Pasai, Aceh Darusalam, Pariaman, Palembang, Jambi, Siak Indragiri, Riau, dan Deli Serdang.Di Pulau Kalimantan ada kerajaan Banjarmasin. Di Pulau Sulawesi ada kerajaan Gowa, Luwu, Wajo, Tallo, dan Butun. Sementara itu, di Malauku terdapat kerajaan Ternate dan Tidore serta di Sumbawa terdapat Bima. Semua daerah tersebut meninggalkan produk-produk yang bertipikal Islam. Daerah-daerah tersebut di samping menampilkan kerajinan dan seni yang dipengaruhi Islam juga ada kerajinan dan kesenian masyarakat lokal.
Kedatangan orang Arab dengan segala unsur budayanya bukan berarti “Islam”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Islam secara historis memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam konstruksi masyarakat Islam (Sedyawati, 2012). Huruf yang digunakan dalam tulisan disebut huruf Arab yang mengacu pada nama tempat atau nama bangsa. Di sinilah perlu dipahami adanya pemilahan antara Islam dan kultur Arab. Tentang sistem tulisan di Nusantara pada masa lampau atau sekarang masih dikenal merupakan adopsi dari luar. Pada awalnya salah satu tulisan yang dikenal luas di Nusantara adalah aksara Pallawa yang mengalami tranformasi menjadi aksara Nusantara Kuno dan akhirnya berubah menjadi aksara daerah yang dikenal saat ini misalnya huruf Jawa.
Tradisi Cina, Arab, dan Jawa dalam Produk Sigaret Kretek Samporna
Kemasan rokok sigaret kretek Dji Sam Soe termanifetasi secara jelas budaya (tradisi) antara Cina, Arab, dan Jawa yang tersaji dalam bungkus kemasan rokok Dji Sam Soe. Liem Seeng Tee dengan cerdas dan sangat inovatif memanfaatkan dan mengembangkan budaya-budaya tradisonal sebagai instrumen pengembangan bisnisnya. Dia tidak hanya membuat produk rokok sigaret kretek yang berkualitas tinggi, tetapi juga membangun konsep yang lebih luas yaitu melalui akar budaya di tempat aktivitas produksinya. Konsep yang digunakan Liem seeng Tee dengan menggunakan unsur-unsur tradisional tiga komunitas besar di Jawa, utamanya Surabaya, pada awal produksinya. Penerapan dan pengembangan unsur budaya tradisi ini memiliki makna teknis dan simbolis. Dengan kata lain bahwa kata tradisi tidak harus tetap atau stagnant, tetapi memiliki makna dinamis dan fleksibel. Disadari atau pun tidak faktanya Indonesia, Nusantara pada saat itu, adalah negara bangsa yang beragam (multikultur) yang harus diramu atau dirajud dalam satu kesatuan yang bagus. Tiap komunitas memiliki keunikan atau karakteristik yang berwujud ornamen, pola tekstil, model pakaian, warna dan lain-lainnya (Sedyawati, 2012: 116-117). Terjadinya kombinasi antara budaya Cina, Arab, dan Jawa dalam kemasan rokok sigaret kretek Sampoerna ini tidak tercipta dalam sekejap, tetapi melalui proses panjang terjadinya akulturasi budaya yang membawa kosekensi saling menyapa antara budaya lokal dengan budaya asing atau pun antara budaya asing satu dengan budaya asing lainnya yang bersama-sama hidup di suatu daerah.
Manifestasi antara tradisi Cina, Arab, dan Jawa bukan pada produk Dji Sam Soe sigaret kreteknya, melainkan pada pembungkusnya. Pembungkus sigaret kretek ini memiliki simbol-simbol Cina, Arab, Jawa, dan Eropa. Simbol-simbol yang terdapat pada bungkus rokok Sampoerna tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan visioner. Visi yang dikemukakan adalah melampaui zamannya bahkan dapat diwarisi generasi ke generasi berikutnya. Simbol-simbol yang terdapat pada bungkus rokok Dji Sam Soe antara lain: raja, bintang sembilan, Tulisan Eropa-Indonesia, tulisan Jawa, Tulisan Arab, angka, dan sebagainya.
Sejarah Singkat Liem Seeng Tee
Liem Seng Tee sebagai generasi pertama dalam bisnis rokok secara modern yang diberi nama “Sampoerna”. Ia dillahirkan di Provinsi Fujian Cina, pada tahun 1893 dari kalangan pedangang (traders) dan sebagai entrepreneur yang berani mengambil resiko (Gessler, 2007:1-7 ). Ketika usia 5 tahun ibunya meninggal dunia sehingga dia tinggal di kawasan pertanian Anxi di Provinsi Fujian. Ayahnya, Liem Tioe, memiliki kemauan yang keras untuk mengubah nasib hidupnya yang lebih baik bersama kedua anaknya (Liem Seeng Tee dan saudara perempuannya). Ketika berdagang kedua anaknya selalu diajak dan di masukkan ke dalam keranjang yang dipikulnya. Kemudian orang tuannya dan bersama kedua anaknya migrasi ke daerah tropis. Pertamakali dia singgah di Penang Malaysia. Beberapa waktu kemudian melanjutkan berlayar ke arah timur, maka sampailah di Surabaya. Kurang lebih enam bulan,Liem Tioe, ayah Liem Seeng Tee terrkena penyakit kolera sehingga merenggut nyawanya. Dengan demikian Liem Seeng Tee dan saudara perempuannya menjadi yatim piatu sejak usia lima tahunan. Kemudian Liem Seeng Tee diasuh keluarga Hokkien di Bojonegoro Jawa Timur mulai 5 tahun hingga dewasa.
Ketika tinggal di Bojonegoro dia mulai belajar bahasa dengan dialek Hokkien dan Mandarin. Liem Seeng Tee senagn bermain renang di sungai dekat tempat tinggalnya. Saat itu kehidupannya di bawah peraturan kolonial Belanda, termasuk ketika akan masuk sekolah pun mengalami kesulitan. Karena di bawah peraturan pemerintah kolonial Belanda yang boleh sekolah hanya keturunan orang-orang bangsawan. Oleh karena itu, Liem Seeng Tee bersama keluarga di Bojonegoro, karena tidak bisa sekolah bukan berarti tidak ada peluang, melainkan Liem Seeng Tee dan keluarganya berusaha membuat produk kecap yang sudah diwarisi dari keluarga sebelumnya dan sistem perdagangan yang dikembangkan keluarganya.
Ketika Liem seeng Tee berusia sebelas tahun atas izin keluarga asuhnya, ia pergi ke Surabaya untuk bekerja di restoran kecil. Setelah beberapa bulan ia meminta bayaran kepada pemilik restoran kecil tempat ia bekerja. Uang yang diperolehnya (pesangon) akan digunakan sebagai modal usaha. Pesangon yang diterimanya digunakan untuk membeli sepeda pancal bekas untuk berjualan arang di jalan-jalan kecil di Surabaya.
Description: F:BlackBerrypicturesIMG00044-20130105-1231.jpg
Setelah berpengalaman berjualan arang di jalan-jalan Kota Surabaya, Liem Seeng Tee burusaha berjualan makanan dan minuman di kereta kelas ekonomi selam 18 bulan. Setiap hari tanpa mengenal lelah, dia mengais rezeki di kereta kelas ekonomi jurusan Jakatra Surabaya dengan meloncat dari gerbong satu ke gerbong berikutnya. Makanan yang dijual adalah roti yang dibawa dengan dibungkus kain sarung yang dililitkan ke pendaknya dan selalu bergerak dari gerbang ke gerbong lainnya. Karena kecekatan dan keterampilan berbahasanya, Liem Seeng Tee akhirnya dipekerjakan oleh perusahaan Belanda yaitu di kereta Eksekutif atau kelas utama yang akhirnya juga bertambah pengalaman dari keterampilan berbahasanya.
Setelah usia 19 tahun, Liem Seeng Tee menikah dengan perempuan yang berusia 15 tahun. Saat itu dia mulai berusaha lebih keras bersama isterimya sebagai pasangan dalam usaha dagang selama 43 tahun. Pertama dia mendirikan usaha bersama (CV) hingga tahun 1971 samapi tahun 1984 dan jalan-jalan mulai dilebarkan. Liem Seeng Tere berkreasi memproduksi sigaret kretek yang diberi nama Dji Sam Soe. Nama itu sebagai brandingnya dan mengalami penyempurnaan sampai dengan saat ini sudah generasi keempat.
Dari segi historisnya, Liem Seeng Tee untuk mendapatkan pasangan hidupnya, ia berjumpa dengan wanita muda peranakan yang bernama Siem Tjiang Nio. Perempuan idamannuya itu tinggal bersama ayah dan ibunya di pusat Kota Surabaya. Kedua orang tua perempuan tidak setuju jika Siem tjiang Nio menikah dengan Liem Seeng Tea karena calon menantunya tidak berpendidikan, dan tidak punya pekerjaan tetap, dan latar belakang keluarga yang tidak jelas. Tetapi, neneknya mempercayai dengan sungguh-sungguh bahwa Liem Seeng Tee akan berkembang mejadi lebih baik dan akhirnya dinikahkan pada tahun 1912.
Tjiang Nio merupakan pasangan yang sangat mendukung upaya Liem Seeng Tee untuk memanfaatkan peluang buruh melinting sigaret yang tempatnya di Lamongan. Tempat itu agak jauh dari Surabaya dan dia harus pulang pergi melompat ke gerbong kereta api. Walaupun jauh dari Surabaya pasangan itu meneriam dengan baik karena upah yang diterimanya sepadan dengan aktivitas yang dikerjakannya. Liem Seeng Tee terus belajar teknik berdagang, faktanya dia dipecaya pemilik perusahaan untuk menangani tembakau dari Indonesia yang akan dijadikan sigaret.
Pada awalnya Tjiang Nio memiliki rumah di Jalan Gang Gembong, dia sangat bahagia walaupun atapnya terbuat dari dedaunan. Tjiang Nio di rumah juga sambil berusaha berjualan kue, dengan temapat seadanya misalanya meja dan tambahan atap yang terbuat dari terpal. Enam bulan setelah menikah Liem Seeng Tee dan Tjiang Nio bekerja lebih keras dia dengan menjadikan sebuah tempat untuk menyimpan stok produk tembakau sambil berjualan dengan menggunakan sepeda pancal. Pada tahun 1913 mendirikan bisnis dengan nama Handel Maskapai Liem Seeng Tee. Dalam perkembangannya Liem Seeng Tee dalam usaha tembakaunya selalu memimpikan untuk menjadi “Raja Tembakau” atau “King of Tobacco”. Pada akhirnya, ia menemukan kreasi yang diberi nama Dji Sam Soe dalam masa depannya menjadi “Raja Kretek” karena produk tersebut sangat berkualitas tinggi.
Tiga garis horisontal dan satu garis vertikal merupakan simbol raja “king” dalam budaya Cina. Simbol ini yang diadopsi dan diimplementasikan dalam bentuk bungkus kemasan rokok sigaret kretek Dji Sam Soe . Dji Sam Soe sendiri merupakan kata dari bahasa Cina yang berarti angka 2, 3, 4.
Simbol berupa gambar, bentuk, huruf, kata, dan sebagainya merupakan ciri yang membedakan dengan produk lainnya.
Nilai Budaya Cina, Arab, dan Jawa sebagai Manifestasi Visi Liem Seeng Tee
Berdirinya perusahaan rokok kretek Dji Sam Soe di tengah-tengah masyarakat yang multikultural antara lain masyarakat Jawa sebagai penduduk asli, masyarakat Arab, dan masyarakat Cina sebagai masyarakat pendatang (migran). Kenyataan itu yang mendorong dan memotivasi Liem Seeng Tee untuk selalu menggali inspirasi untuk menemukan visi dalam bisnisnya.
Dalam menghargai dan menghormati masyarakat di tempat ia beraktivitas ditunjukkan dalam bentuk penggunaan tulisan huruf Jawa yang terpampang dalam kemasan rokok kretek Dji Sam Soe yang berbunyi “sigaret kretek Liem Seeng Tee”. Ungkapan seperti itu juga tampak dalam stoples kaca bening yang dipajang di lokasi House of Sampoerna Surabaya. Jika pengunjung tidak mengamati dengan cermat mungkin tidak akan menemukan tulisan itu. Karena tulisan itu tidak begitu jelas, tetapi dapat dibaca karena ada huruf timbul yang membentuk tulisan dengan huruf Jawa.
Liem Seng Tee sadar bahwa ia tidak bisa hidup sendirian perlu orang lain. Di samping hidup di tengah-tengah masyarakat budaya Jawa, ia juga hidup di tengah-tengah masyarakat Arab. Di Surabaya terdapat makam salah satu wali sembilan (songo) yaitu makam Sunan Ampel yang merupakan ikon bagi masyarakat muslim dan komunitas Arab. Oleh karena itu, Liem Seeng Tee juga menggunakan huruf Arab untuk mengakomodasi budaya Arab yang ditunjukkan dengan menggunakan huruf Arab dalam kemasan rokok kretek Dji Sam Soe yang berbunyi “sigaret kretek Liem Seeng Tee”.
Di samping penggunaan huruf Jawa dan huruf Arab, Liem Seeng Tee sebagai orang Cina juga memberikan apresiasi budaya Cina dengan mengunakan huruf Cina. Ketiga jenis huruf baik Jawa, Arab, dan Cina semuanya terdapat dalam stoples kaca bening dengan huruf timbul. Penggunaan unsur-unsur budaya yang berbeda merupakan sebuah visi yang ingin diwujudkan untuk membangun kebersamaan (kolektif) sehingga tercipta suatu keharmonisan budaya, kesetaraan nilai, dan saling menghargai antara satu dengan yang lain
Nilai kebersamaan itu disimbolkan dengan tiga tangan. Simbol tiga tangan memiliki filosofi sangat penting karena untuk memberikan jiwa atau ruh dalam berbisnis rokoksigaret kretek Dji Sam Soe. Simbol ini secara turun-temurun diwarisi oleh anak cucunya dalam menjaga keberlangsungan bisnis keluarga untuk ikut meningkatkan kesejahteraan lingkungan baik lingkungan yang dekat maupun lingkungan yang jauh. Tiga tanggan itu dapat dimaknai sebagai tiga kekuatan yang disatukan sehingga dapat menimbulkan effek positif bagi masyarakat sekitar. Kekuatan pertama adalah “produsen” yang di dalamnya dapat dipahami bahwa perusahaan harus bertanggung jawab membuat produksi yang bekualitas tinggi dan sebagai penentu nilai (harga). Kekuatan kedua adalah “distributor”yang merupakan mitra produksi. Distributor tidak boleh bermain sendiri, harus jujur dan proposional ketetapan nilai dari produksi. Pihak distributor tidak boleh mengambil keuntungan yang tinggi, tetapi yang wajar atau proporsional supaya produksi cepat laku dan bisa mengambil produk lagi ke pihak produsen. Kekuatan ketiga adalah “konsumen” atau “perokok”. Mereka akan mendapatkan sigaret kretek yang berkualitas dengan harga yang terjangkau sehinggaterjadi keadilan dan kewajaran karena dengan pengeluaran sejumlah uang tertentu dapat produk yang bermutu. Tiga tangan inilah yang memberikan pedoman dalam berusaha supaya bisa eksis secara nasional bahkan internasional.
Simbol tiga tangan ini sebagai simbol perusahaan diguankan sejak 1913 Handel Maatschappij Liem Seeng Tee (Trading Company of Liem Seeng Tee). Ditulis PT Handel Maatchappij Sampoerna ( Private Limeted Trading Company of Sampoerna). Pada tahun 1946 berubah menjadi PT Hanjaya Mandala Sampoerna atau dengan inisial HM Sampoerna (Gessler, 2007).
Simbol tiga tangan ini mengalami perubahan yang lebih abstrak yang digunakan oleh generasi berikutnya, tetapi jiwa, nilai, dan semangat tetap tidak berubah dengan berpegang pada kekuatan antara mitra satu dan mitra lainnya. Awalnya simbol berupa tangan yang saling terkait, lalu berubah berupa garis-garis tiga arah yang saling terkait seperti terdapat foto berikut ini.
Tulisan pada pita berbunyi “Anggarda Paramita” diambil dari bahasa Sanskrta yang berarti “menuju kesempurnaan”. Simbol “tiga tangan” yang baru (lebih abstrak) sisi kiri dan kanan terdapat dua anjing khas Cina. Hal ini dapat dipahami bahwa usaha bisnis ini harus tetap dijaga keberlangsungannya sampai setinggi-tingginya untuk memperoleh keberuntungan. Keberuntungan ini disimbolkan dalam bentuk bintang yang jumlahnya sembilan. Setiap bintang memiliki sudut sembilan. Tampaknya angka sembilan merupakan angka yang dipilh oleh Liem seeng Tee dan generasi penerusnya.
Penutup
Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan, ada beberapa nilai yang dapat dijadikan pijakan untuk memberikan inspirasi dan motivasi dalam mengembangkan entrepreneur. Pertama, saeorang entrepreneur harus ulet seperti yang dilakukan Liem Seeng Tee dari berjualan di kereta api jurusan Jakarta Surabaya, berjualan arang dengan sepeda pancal, menjadi buruh melinting rokok di Lamongan. Kedua, berani mengambil resiko. Hal ini tampak ketika Liem Seeng Tee baru berusia sebelas tahun berani keluar dari rumah atas izin orang tua asuhnya untuk pergi mencari pekejaan di Surabaya sebagai penjaga restoran kecil. Ketika ditawari pekerjaan sebagai pelinting rokok di Lamongan pun dijalani walaupun agak jauh dari Surabaya. Ketiga, aktif produktif. Liem seeng Tee termasuk orang yang tidak konsumtif, tetapi produktif dan aktif. Hal ini dapat dipahami ketika dapat pesangon dari majikannya dibelikan sepeda sebagai alat berjualan di Surabaya. Uangnya tidak dihabiskan untuk berfoya-foya, tetapi dikembangkan supaya menjadi modal yang lebih besar. Keempat, Humanis artinya ia sangat menghargai budaya yang berbeda. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan menggabarkan budaya Cina, Arab, dan Jawa. Dia sangat menghargai kejujuran, kerja sana, senang menolong kepada sesama. Tiga kekuatan budaya inilah yang dijadikan dasar atau legitimasi dalam merintis usaha dagangnya.
Daftar Pustaka
Gessler, Diana Hollingsworth. 2007. The Sampoerna Lagacy A Family and Business History
Conceived and Nurtured by Michelle Sampoerna. Sampoerna Foudation.
Marzali, Amri.2011. “Pemetaan Sosial-Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia” dalam
Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia. Edisi XXXVII. No.2. 2011
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Saleh B, Amyrna Leandra, “Naskah Roman Cina Jawa: Bagian dari Khazanah Kesusastraan Jawa” http://digilib.pnri.go.id/uploaded_files/collection_download.asp?collection_id= 20058914 714, diakses pada 15 Juni 2010
Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indoneisa: kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Cetakan
Kelima. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suhandinata, Jutian. 2012. Indonesian Chinese Descent in Indonesia’s Economy and
Political Stability. Cetakan Kedua. Jakarta: Mandiriabadi.