Surabaya, (2/9/2021): Dzuafa” berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “lemah”. Dengan istilah lain, dzuafa adalah komunitas yang memiliki ciri-ciri secara fisik dan sosial berbeda dengan komunitas lainnya.
Secara fisik, dzuafa ditandai adanya “keringkihan” fisik karena dimakan usia atau yang disebut “fakir” atau “pekir”.
Ada pula yang ditandai dengan usia yang masih sangat dini atau belum “baligh” atau nalar pikir belum memadai dan tidak ada orang tua (karena sudah meninggal). Hal itu yang biasa disebut anak yatim (piatu). Apalagi masa pandemi dapat diprediksi akan semakin membengkak jumlah anak yatim.
Berdasarkan tempat tinggal, dzuafa berada di mana-mana di pedesaan dan sebagian di perkotaan. Biasanya penguasaan lahan terbatas. Apalagi di perkotaan banyak urban yang tinggal di perkotaan dengan sistem kontrak kamar (rumah) tinggal. Di samping itu, lingkungan kurang kondusif, berhimpitan sehingga kurang nyaman.
Secara sosial, komunitas dzuafa berpendidikan rendah, menengah, atau bahkan tidak sekolah.
Selain itu, mata pencaharian atau pekerjaan infornal sebagai buruh “srabotan” dengan penghasilan tidak pasti (kadang tidak cukup). Hal seperti ini dapat dikatakan dzuafa kategori miskin. Akses ekonomi mereka sangat terbatas dan sulit untuk bangkit.
Kondisi dzuafa seperti inilah yang akan menjadi beban keluarga, masyarakat, dan negara. Semoga ada solusi untuk memberdayakan sebagian komunitas dzuafa yaitu komunitas yang kurang beruntung secara ekonomi.
Terkait dengan komunitas dzuafa ditambah lagi masalah pandemi covid-19 sangat potensial menimbulkan kesenjangan ekonomi seperti kurva “K”. Artinya, pertumbuhan ekonomi negara bisa bercabang dua arah yang saling menegasikan, yang satu tumbuh cepat (semakin kaya/kuat) yang lainnya tumbuh negatif tersungkur ( semakin miskin). Oleh karena itu, “Kompas” (1/9/2021) menurunkan tulisan untuk ‘Mewaspadai Kesenjangan Akibat Pandemi’ yang belum selesai ini.
Dengan memperhatikan fakta yang sedang berproses seperti itu, diharapkan negara bisa mengartikulasikan kebijakan supaya bisa mengurangi dzuafa, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan sumber daya manusia (SDM), dan melaksanakan transformasi ekonomi. (Tubiyono)