Surabaya, 13/9/2021. Dzuafa dalam tulisan ini mengacu kepada kategori fakir, miskin, dan anak yatim (piatu). Dzuafa tanggung jawab keluarga, masyarakat, atau negara?
Saat satu abad kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 2045, diprediksi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Bonus demografi dipahami sebagai keadaan yang sangat menguntungkan karena usia produktif lebih besar daripada usia improduktif. Dengan demikian akan meningkatkan kesejahteraan penduduknya.
Adanya pandemi covid-19 dan korupsi di Indonesia tentu sangat mengganggu terhadap laju pembangunan yang selama ini diusahakan dengan sungguh-sungguh. Pandemi covid-19 salah satu penyebab peningkatan dzuafa karena kematian orang tua. Akibatnya, secara kuantitas jumlah anak yatim (piatu) semakin meningkat yang akan berpengaruh terhadap proses perkembangannya.
Negara memiliki peran penting terhadap penduduk yang berkategori dzuafa. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan pemegang kekuasaan sebagai manifestasi kehendak rakyat tercantum dalam pasal 34 bahwa fakir, miskin, dan anak terlantar dipelihara negara. Selain itu, pasal 27 ayat (2) dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sejak UUD 1945 diberlakukan sampai sekarang cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum dapat diwujudkan secara menyeluruh. Tampaknya pemerintah sejak awal kemerdekaan sampai sekarang belum mampu melaksanakan tanggung jawab berat tersebut. Oleh karena itu, peran (organisasi) masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah dzuafa. Komunitas masyarakat yang beragam bahu-membahu merupakan modal sosial yang perlu ditumbuhkan, dirawat, dan dijadikan mitra pemerintah dalam pembangunan, seperti Perserikatan Muhammadiyan, Nahdhotul Ulama (NU), Taman siswa, dan organisasi masyarakat lainnya.
Tampak dalam mengatasi dzuafa oleh pemerintah dan masyarakat sampai saat ini, 76 tahun dari kemerdekaan belum dapat dicapai secara signifikan. Dengan demikian peran keluarga dan personal perlu diidentifikasi, utamanya para “aghniya” di negeri ini diharapkan dapat mengurai kesulitan pemerintah dan masyarakat. Di samping itu, budaya korupsi perlu dibersihkan karena merugikan rakyat banyak.
Secara religius, Islam memerintahkan supaya menyantuni dzuafa (QS, 107;1-7). Modal sosial keagamaan ini jika diatur sedemikian rupa akan menghasilkan luaran yang dapat membantu dzuafa sehingga kesejahteraan bersama berdasarkan kemanusiaan dapat diwujudkan. (Tubiyono)