Drs. Tubiyono, M.Si Official Website

Tubiyono — Ramadhan telah tiba disambut dengan gembira oleh umat muslim yang diwujudkan dalam aneka ragam ibadah ritual dan ibadah sosial. Ibadah ritual dapat diperhatikan selain sholat wajib lima waktu adalah sholat tarowih, sholat witir, qiroatul quran, dan lain-lain. Ibadah sosial dapat diamati adanya peningkatan infak, sedekah, zakat, sediaan takjil, dan sebagainya. Sediaan takjil berupa aneka makanan dan minuman siap santap untuk pembatalan puasa saat masuk adzan maghrib. Takjil disiapkan oleh takmir masjid, mushola, dan sekelompok relawan di pinggir jalan, khusus untuk para pengguna jalan. Istilah takjil saat Ramadhan adalah hal yang wajar. Akan tetapi, apakah “takjil”itu? Kata “takjil” termasuk salah satu khasanah kosa kata bahasa Indonesia dari unsur serapan bahasa asing yaitu bahasa Arab. Secara etimologis kata ”takjil” berasal dari kata bahasa Arab “’ajala – yu’ajilu” yang berarti ‘menyegerakan’ atau ‘mempercepat’. Makna secara istilah dengan mempertimbangkan konteksnya adalah ‘menyegerakan pembatalan puasa bagi yang menjalankannya’. Kata “takjil” berasal dari akar kata “’ajala” kategori verba (lampau) mengalami proses derivasi dengan mempertimbangkan aspek kala (waktu) dan nomina (pronominal) menjadi “takjil” yang berkategori nomina. Oleh karena itu, “takjil” merujuk pada kategori benda kongrit berupa makanan atau pun minuman siap santap untuk berbuka puasa. Jika diperhatikan asal-usul kata “takjil”, maka terdapat pergeseran jenis kategori dan makna semantisnya. Pergeseran jenis kategori dapat dijelaskan bahwa “’ajala” kata asalnya berupa kategori verba aktif (lampau) berubah menjadi “takjil” kategori nomina. Pergeseran kategori tersebut dapat dideskripsikan bahwa terjadi proses derivasi dengan mempertimbangkan aspek kala (waktu) dan nomina (pronomina). Selain itu, maknanya pun berubah dari ‘yang telah menyegerakan’ bergeser menjadi wujud benda nyata/kongrit berupa makanan/minuman. Jadi, dinamika bahasa Indonesia dari masa ke masa menunjukkan adanya toleransi dan sifat keterbukaan antara unsur-unsur bahasa Nusantara dan bahasa asing. Semua unsur dapat diserap ke dalam bahasa Indonesia disesuaikan dengan lafal, bentuk, dan maknanya untuk memperkaya daya nalar dan kreativitas pemakainya. (Surabaya, 13/3/24