Kebenaran bukan pemberian secara “given”, melainkan perlu ikhtiar, perlu perjuangan dengan kerja keras “achievement”. Kebenaran atau haq milik Alloh SWT, Tuhan yang Maha Esa, kita berpacu untuk meraihnya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim yang beriman selalu berdoa “ihdinas sirothol mustaqim” yang berarti ‘berilah kami jalan yang lurus’. Doa itu minimal dilisankan 17 kali sehari semalam yang termanifestasi dalam solat lima waktu.
Selain itu, ada doa “allahuma arinal haqqo-haqqo warzuqnat tibangah” yang berarti ‘Ya Allah, nampakkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya’.
Kedua doa tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia memerlukan arah tujuan yang lurus atau benar. Realitas kehidupan manusia secara konkrit atau pun abstrak selalu dihadapkan banyak alternatif pilihan jalan. Ketika kita salah memilih jalan ada kemungkinan akan tersesat tidak sampai tujuan. Berkaitan dengan hal itu, kita dianjurkan untuk selalu berdoa mengingat Alloh SWT agar diberi kemampuan meniti jalan yang benar.
Secara konkrit atau lahiriah, kita sebagai manusia dibekali akal sehat untuk berpikir atau berlogika. Berlogika merupakan sebuah wahana berikhtiar untuk mencari jalan yang benar atau lurus atas izin Alloh SWT. Jika kita tidak menggunakan logika dengan benar dapat menjatuhkan martabat manusia menjadi tidak adil, ada pihak lain yang dirugikan.
Sebaliknya, jika kita mempunyai kompetensi berpikir logis dan kritis dapat terhindar dari ketidakadilan, kepalsuan, ketidakjujuran yang dikemukakan oleh orang yang ahli beretorika dengan narasi yang meyakinkannya. Ada kemungkinan yang benar tampak salah dan yang salah tampak benar. Dengan demikian, pemanfaatan akal sehat untuk berlogika yang benar merupakan sebuah keniscayaan agar kita tidak termasuk orang jahiliah (kebodohan).
Walhasil, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak sedikit kita temukan ketidakadilan, ketidakjujuran, manipulasi, kebohongan, hoax, pemutarbalikan fakta, dan sebagainya. Hal itu termanifestasi dalam interaksi antarmanusia dengan instrumen bahasa.
Dengan instrumen bahasa kita bisa berpikir atau berlogika. Kita sering melakukan kesalahan berbahasa dalam berinteraksi dengan sesama. Padahal kesalahan bahasa bertalian dengan pemanfaatan unsur-unsur bahasa seperti diksi, kalimat, dan wacana. Jika terjadi kesalahan pemanfaatan unsur bahasa dapat berdampak negatif terhadap hasil (kesimpulan).
Untuk meraih kebenaran atau haq, di samping menghindari kesalahan (ber)bahasa, diperlukan juga pemahaman faktor situasi dan kondisi tertentu. Dengan kata lain, kita pertimbangkan antara teks dan konteksnya karena hal itu akan berpengaruh terhadap hasil atau pernyataannya. Ada kemungkinan sebuah pernyataan dipengaruhi berbagai motif kepentingan sehingga ada tabir tebal yang benar tak tampak.
Ada ilustrasi yang relevan yang sudah menjadi ingatan kolektif tradisional sebagian umat muslim yaitu penolakan atas kebenaran kenabian Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Figur-figur penolak kebenaran itu ada pada diri Abu Thalib; Abu Lahab beserta Ummu Jamil (isteri); dan Abu Jahal. Padahal figur-figur itu masih kerabat dekat sebagai paman Nabi Muhammad SAW.
Ada pertanyaan mengapa para figur itu menolak kebenaran atas kenabian Muhammad SAW yang merupakan keponakannya. Secara historis, saat itu di Mekah banyak suku (etnis) dan figur-figur Abu Thalib, Abu Lahab, dan Abu Jahal adalah tokoh yang sangat disegani secara internal dan eksternal etnisnya. Pertimbangan secara ekonomi dan politik sangat dominan seperti dikemukan dalam Al Quran Surat Al Lahab (111:1-5). Jika mengakui kebenaran atas kenabian Muhammad SAW, para tokoh tersebut takut kehilangan sumber-sumber ekonomi dan takut kehilangan kedudukan sebagai penguasa.
Paman-paman Nabi Muhammad SAW itu melegenda dan menjadi simbol penolak kebenaran sepanjang masa. Akibatnya, perbuatan licik, culas, dusta, sombong, dan karakter negatif lainnya akan selalu ada di mana pun dan kapan pun, tak terkecuali di Indonesia saat ini. (Tubiyono)